Senin, 14 November 2011

My Opinion


     UN dan Asa Para Guru Pelosok
                                (Catatan menjelang UN SMA)

Oleh Mohamad Nasrul AN
Rendahnya presentasi kelulusan siswa dalam  Ujian Nasional (UN) tahun 2010 di Provinsi Nusa Tenggara Timur  telah mendorong para pemangku kewajiban menempuh  sejumlah strategi untuk menghadapi UN 2011. Judul besarnya Siaga UN 2011. Bermacam-macam breakdown aktivitas sudah dilakukan oleh pemerintah (Dinas PPO) Provinsi-Kabupaten/Kota  dan ditingkat sekolah. Banyak cara ditempuh seperti bedah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), try out, membuat prediksi soal UN 2011, les tambahan, pembentukan kelompok belajar, bimbingan belajar dan lain-lain.
            Target yang ingin disasar semua aktivitas di atas satu, yakni membantu peserta didik mencapai standard kelulusan nilai mata pelajaran UN tahun ini. Tulisan ini ingin mengangkat aspek lain yang memiliki kontribusi sama penting dalam rangka meningkatkan presentase kelulusan siswa-siswi dalam UN 2011 dan tahun-tahun mendatang.   Aspek yang dimaksud yaitu  membangun kapasitas  para guru sebagai fasilitator proses belajar bagi peserta didik di kelas. Sebagai fasilitator kelas, guru memainkan peran yang sungguh penting. Sebagaimana Bernie Neville melukiskan proses yang dijalankan seorang guru “Teaching is not only about transferring knowledge, but how to imparting the knowledge to learners”. Bahwa peran guru dikelas tidak melulu tentang bagaimana memindahkan ilmu dan pengetahuannya kepada peserta didik, tetapi lebih pada bagaimana cara menyampaikannya dengan cara-cara  metodis yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi peserta untuk memahami pelajaran. Proses pembelajaran yang melibatkan peran aktif siswa, membangun kreatifitas mereka, dengan pemanfaatan sumber –sumber belajar secara efektif dalam suasana menyenangkan merupakan satu diantara sekian banyak metode yang popular saat ini. Untuk memfasilitasi proses tersebut, dibutuhkan guru yang  unggul secara core ilmu, dan terampil (well trained) guna mendukung proses belajar yang  berkualitas.  Feliks Tans ketika berbicara dalam Seminar Nasional Pengembangan Profesionalitas Guru Indonesia di Kupang, 09/04/2011 menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator belajar yang memberi inspirasi dan menumbuhkembangkan etos belajar mandiri pada diri peserta didik.
Untuk mewujudkan profil guru demikian, maka aspek pengembangan sumber daya manusia (PSDM) melalui program-program terencana dan kontinyu semisal pelatihan, bimtek, workshop, lokakarya, magang , study banding,  mestinya banyak melibatkan guru-guru. Para stakeholder pendidikan ( Pemerintah melalui Dinas PPO, PGRI, DPRD, LSM,)  bisa bersinergi untuk katakanlah mendraft program-program demikian dalam program kerja mereka.      
Situasi minimnya program kapasitasi guru, secara telak lebih dirasakan para guru di wilayah pelosok dan pedalaman yang jauh dan terbatas dalam banyak hal, fasilitas dan akses misalnya. Harus diakui banyak guru di daerah pelosok dan desa yang menjalankan peran dan tanggungjawab mengajar dan mendidik dalam kondisi apa adanya. Mereka jarang mengikuti pelatihan, khususnya berkaitan dengan administrasi pengajaran, metode, pengembangan materi dan kurikulum. Padahal seperti diketahui muatan kurikulum pengajaran sekarang sarat dengan berbagai komponen administratif yang harus dikuasai seorang guru. Bahkan ada guru-guru yang telah bertahun-tahun bekerja tanpa sekalipun mengikuti ekstra pendidikan atau pelatihan yang menunjang peran dan tugas pokok sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai konsekwensi, guru-guru demikian bisa mengandalkan core ilmunya untuk diberikan kepada peserta didik, tetapi tidak terampil dalam mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, mengembangkan silabus, menganalisis butir soal dan perangkat lain sebagai penjabaran dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Padahal, kemampuan atau kompetensi tenaga kependidikan (guru) mengembangkan perangkat-perangkat pembelajaran ini termasuk salah satu syarat Standard Nasional pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab masalah ini, perlu ada identifikasi peran para stakeholder, terutama para pengambil kebijakan untuk memberi perhatian, jika memang mau dan serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita secara komprehensif, jangka panjang, tidak hanya untuk target-target tertentu semacam keberhasilan dalam UN.
Pertama, Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga sebagai SKPD yang bertanggungjawab dibidang pendidikan sebenarnya banyak diharapkan perannya. Salah satu misalnya dengan memasukan aspek peningkatan kapasitas guru sebagai satu program regular dan berlanjut. Data yang disajikan Sekretaris Dinas PPO Provinsi NTT Klemens Meba dalam Seminar Nasional Pengembangan Profesionalitas Guru Indonesia menunjukan jumlah guru di NTT adalah 73.763 orang dengan berbagai kualifikasi pendidikan. Sejumlah 6.683 orang diantaranya adalah guru SMA. Dari jumlah guru SMA itu, sejak tahun 2008-2011, Dinas PPO Provinsi hanya mampu mengcover 973 guru untuk penguatan kompetensi melalui sejumlah kegiatan seperti Center MIPA, Center Bahasa Inggris, Workhsop Penyusunan soal SMA, Bimtek KTSP SMA, manajemen Lab. IPA, Workhsop MGMP SMA dan Workhsop MBS.  Ini artinya masih ada 5 ribuan guru SMA yang belum tersentuh program-program di atas. Hal yang semestinya juga perlu dipikirkan oleh Dinas PPO kabupaten/Kota. Data lain adalah proyeksi perbandingan hasil UN tingkat SMA/MA tahun pelajaran 2008/2009 dan 2009/2010, dari 21 Kabupaten di NTT, hanya empat kabupaten/kota yang mengalami trend kenaikan pada UN 2010, yakni Kota Kupang, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua. Sisanya 17 Kabupaten menurun pada UN tahun 2010. Sejauh ini, untuk mengangkat presentasi kelulusan dalam UN 2011 diberbagai kabupaten/kota di NTT, respon justru datang dari pemerintah pusat dengan stimulasi sejumlah dana untuk peningkatan kapasitas guru mata pelajaran UN pada sekolah-sekolah yang rendah peresentasi kelulusannya dalam UN 2010. Besar harapan, Pemda melalui Dinas PPO terutama kabupaten/kota  menindaklanjuti program ini menjadi agenda tahunan dengan cakupan pelayanan yang lebih luas pula, menjangkau sekolah dan  guru-guru yang bertugas dipelosok dan pedalaman kampung.  Bentuk tindak lanjut itu sekaligus untuk membalikan pola pendekatan responsif,  ada kasus (presentasi kelulusan UN rendah) lalu respon (program) dibuat, tetapi respon mestinya tetap diberikan dengan atau tanpa kasus. 
Kedua, harapan besar juga disematkan pada pundak para anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota. Fungsi anggaran mereka bisa ditunjukan misalnya dengan memastikan adanya keseimbangan antara anggaran fisik dan non fisik semacam pendidikan dan pelatihan bagi para guru dalam APBD.  Ini untuk menjamin bahwa ketiadaan program pengkapasitasian guru karena alasan  anggaran tidak mendukung. Budgeting dibidang pendidikan tidak semata-mata untuk bangun dan rehab gedung sekolah, harus diimbangi dengan ketersediaan kapasitas tenaga pengajar yang memadai, terlatih dan kompeten.
Ketiga, peran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) daerah juga sebenarnya sangat vital. Sebagai wadah bernaung  guru-guru pada semua jenjang pendidikan, PGRI minimal bisa melakukan loby dan advokasi ke pemerintah, DPRD dan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM. Langkah ini dilakukan untuk membuka ruang kolaborasi dan kerjasama  dalam rangka perbaikan mutu para guru lewat pendidikan dan pelatihan. Guru-guru di pedalaman dan pelosok merindukan perhatian PGRI daerah dengan memfasilitasi mereka dalam pelatihan dan semacamnya.  
Keempat,  keberadaan LSM, Perguruan Tinggi, Organisasi nirlaba yang  memiliki program-program pengembangan pendidikan dasar dan menengah juga memberi kontribusi bagi terlaksananya suatu program pengembangan sumber daya manusia para guru. Beberapa LSM local dan internasional bahkan memiliki program yang cukup lengkap menangani pendidikan. Secara fisik mereka membantu peningkatan sarana pendidikan dalam bentuk support ruangan belajar, buku-buku, media belajar kreatif serta meubel. Sedangkan intervensi non fisik diantaranya memfasilitasi program peningkatan kapasitas guru, bahkan komite untuk kepentingan pengembangan sekolah. Berbagai Pelatihan, Workshop, ToT, Lokakarya yang relevan seperti pengembangan material dan kurikulum, metode dan administrasi pengajaran, membuat alat bantu dan media belajar dari bahan-bahan local, diselenggarakan. Semuanya didesain untuk meningkatkan dan mengasah soft skill yang mencakup kemampuan manajerial, berbicara, kepemimpinan, pemecahan masalah, fasilitasi proses, kreatifitas dan lain-lain. Semua kemampuan itu diperlukan semata-mata untuk mendukung kinerja para guru untuk kemudian memberikan dampak lanjutannya pada keberhasilan belajar peserta didik.
 Sayangnya, proses pengkapasitasian itu belum melibatkan lebih banyak guru, khususnya guru-guru di wilayah pedalaman yang memiliki banyak keterbatasan. Program demikian cenderung lebih banyak melibatkan para guru di kota, atau guru-guru yang bertugas di wilayah dampingan sebuah LSM.   Akibatnya, terjadi ketimpangan keterampilan dan pengetahuan yang mencolok antara guru-guru di kota dan daerah pedesaan, selain perbedaan kuantitas akibat distribusi yang tidak merata. Para guru di pedalaman lebih banyak menganut prinsip bekerja sambil belajar (learning by doing). Mereka bekerja dengan minim supervisi dan senantiasa mengandalkan sharing dengan sesama rekan sejawat.
Kondisi demikian menjadi kontras dengan profil guru sebagaimana amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mendefinisikan Guru sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik .  Rentetan tugas ini mencerminkan tuntutan karya seorang guru yang setinggi-tingginya, akan tetapi disisi lain mereka tidak dibekali keterampilan dan kemampuan yang seimbang.  Secara fakta, banyak guru di wilayah pelosok dan pedalaman masih jauh dari   apa yang disebut dengan profesionalitas. Guru-guru direkrut, ditempatkan lalu bekerja, dan selesai. Pada hal dari sekian banyak jumlah yang direkrut, tidak sedikit dari mereka yang baru menggeluti dunia pengajaran (fresh graduate) yang minim pengalaman. Mereka mungkin kuat pada content ilmu mereka, tapi belum familiar dan terampil dalam membuat perangkat-perangkat pembelajaran yang kontekstual dengan kondisi sekolah dan siswa. Seluk beluk Kurikulum sekarang tidak mereka pelajari secara detil di kampus. Padahal Keputusan Mendiknas RI No 053./U/200 menerangkan bahwa guru harus memiliki kemampuan dasar dan sikap antara lain, menguasai kurikulum yang berlaku, menguasai materi pelajaran, menguasai metode, menguasai teknik evaluasi dan memiliki komitmen dalam tugas, disiplin dalam pengertian luas.   Pada titik inilah urgensi pelatihan, bimtek, workshop atau kegiatan sejenisnya diselenggarakan.   Dalam perspektif human resources, guru semestinya dijadikan sebagai aset bagi sebuah investasi bernama pendidikan. Sayangnya, belum semua orang benar-benar menyadari bahwa pendidikan itu sebenarnya adalah investasi jangka panjang yang sungguh bernilai bagi hidup umat manusia.
Kualin,  Maret 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar