Digital Native, Keruntuhan Moral Anak-Anak dan Remaja
Oleh; Mohamad Nasrul AN
Perkembangan dunia informasi dan telekomunikasi yang tak terbendung telah melibatkan sejumlah besar anak-anak dan remaja sebagai pengguna aktif produk-produk teknologi. Digital Native, demikian istilah yang dipakai peneliti dari Pusat Kajian Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Kahardityo untuk memposisikan anak-anak dan remaja masa kini, yang seolah memiliki dunia sendiri dimana mereka lahir dan tumbuh di era digital. Sebuah dunia dimana anak-anak dan remaja memiliki cara berpikir, berbicara dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya (Kompas, 08/02/2010).
Layanan internet misalnya, kini bisa dengan mudah diakses melalui Telepon Seluler (ponsel) atau warung internet (warnet), kapanpun, oleh siapapun dan dimana saja. Aksesabilitas yang mudah ini mendorong sebagian besar anak-anak dan remaja menjadi begitu maniak pada internet. Hasil riset bersama Yahoo dan Taylor Neslon Sofres menyebutkan pada tahun 2009, pengguna terbesar internet di Indonesia didominasi usia 15-19 tahun.
Fenomena yang terjadi belakangan, terdapat lompatan besar jumlah anak-anak dan remaja pengakses internet, khususnya pada situs-situs jejaring social. Friendster, Facebook, Twitter dan Blog telah banyak merebut hati anak-anak muda Indonesia . Content layanan-layanan ini ibarat magnet, punya daya tarik luar biasa karena umumnya nyambung dengan tipikal interaksi social para kaum muda yang gaul, punya rasa ingin tahu yang besar, dan cenderung ingin memiliki banyak teman.
Salah satu situs jejaring social yang saat ini tengah sangat populer adalah Facebook. Data yang dilansir Alexa (www.alexa.com) menempatkan Indonesia pada urutan tujuh dengan user Facebook terbanyak di dunia. Facebook menjadi situs nomor satu di Indonesia dengan jumlah pengguna 12 juta dan mengalami lonjakan pengguna mencapai 700.000 orang per bulan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan beberapa operator selular yang menyebutkan trafik internet mobile yang tinggi mencapai 40-60% didominasi para Facebookers.
Popularitas situs asal Amerika ini seakan mencapai klimaks seiring pemberitaan berbagai media cetak dan elektronik tanah air beberapa pekan belakangan menyangkut penyalahgunaan situs ini sebagai media melakukan kejahatan cyber.
Transaksi prostitusi via Facebook yang melibatkan anak-anak remaja sekolah menengah di Surabaya baru-baru ini dan berhasil dibongkar aparat kepolisian, begitu menyita perhatian public Indonesia . TV One melalui program Kabar Siang edisi 12/02/2010 memotret kenekatan seorang remaja putri kelas 1 sebuah SMA di Surabaya, yang kabur selama 5 hari dari rumahnya. Remaja ini berangkat dari Surabaya menuju Jakarta hanya untuk menemui seorang lelaki teman chattingnya diFacebook. Celakanya, remaja ini dengan polos mengakui motif kedatangannya karena tertarik dan penasaran dengan penampilan fisik teman chatting yang dilihatnya difoto profil. Masih dalam program yang sama TV One pada edisi 14/02/2010 juga mengangkat ksus yang menimpa Rahma mahasiswi 19 tahun di Purwokerto yang diduga diculik jaringan perdagangan orang yang beraksi lewat Facebook.. Sementara Trans 7 dalam program Redaksi Pagi edisi 15/02/2010 melaporkan dari Tanjung Pinang Kepulauan Riau, sebuah SMA memecat 4 siswanya yang ketahuan menghina guru mereka dengan berbagai comment diakun Facebook mereka
Selebihnya mari kita periksa aktivitas sekian banyak pengguna remaja di Facebook. Pertama, kita akan disuguhi foto-foto vulgar baik sebagai foto profil atau dalam album dengan busana minim. Foto-foto itu bahkan bebas diakses oleh pengguna lain, sesuatu yang semestinya berada dalam batas privasi. Privasi merupakan segala sesuatu yang hanya menjadi self right bagi diri sendiri. Dan karenanya, ia ada dalam lingkup domestik pribadi, simbol kedaulatan pribadi, tidak untuk diketahui semua orang. Kedua, begitu banyak user remaja yang meng up date status dan menulis comment dengan bahasa yang kuat nuansa pornografinya. Ketakutan terbesar adalah jika aktivitas direlasi jejaring sosial ini diteruskan dalam aktivitas porno secara fisik. Ini diluar aktivitas lain semacam chatting dan messaging yang juga berpotensi terjadi kejahatan dalam bentuk lain yang lebih mencemaskan seperti virtual seks, sampai transkaksi trafficking.
Fakta-fakta ini menyodorkan kita sebuah ancaman besar, dimana moral, mental, emosi, perilaku serta kepribadian kaum muda kita berada diambang keruntuhan oleh produk teknologi. Fakta ini juga sebetulnya bisa jadi tolak ukur kematangan mind set para remaja untuk menerima dan memanfaatkan produk teknologi untuk kemaslahatan hidup. Aktivitas demikian juga menggambarkan ketidaksiapan, kelemahan, serta ketidakpekaan mereka memanfaatkan teknologi untuk hal-hal positif.
Sangat mengkhwatirkan, manakala ancaman degradasi moral justru menerpa kelompok anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Jika merujuk pada hasil riset Yahoo dan Taylor Neslon Sofres diatas bahwa jumlah pengunjung internet di Indonesia didominasi oleh jenjang usia 15-19 tahun dan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2002 dimana anak adalah seorang berusia 0-18 tahun, maka bukan tidak mungkin jumlah pengguna Facebook di Indonesia juga didominasi oleh usia anak-anak. Tulisan ini hanya memberikan concern pada aktivitas anak-anak dan remaja mengakses layanan situs jejaring social yang secara awam bisa dianggap aman, diluar sekian banyak situs porno yang bertebaran dan bebas diakses.
Fenomena ini selanjutnya menjadi pekerjaan rumah para orangtua untuk memikirkan bagaimana memproteksi anak-anak mereka dalam mengakses layanan-layanan dunia cyber. Berbagai fakta diatas semestinya cukup membangun kesadaran orangtua pada pentingnya peran control terhadap aktivitas online anak-anak meraka. Benteng pertama harus dibuat dari lingkup keluarga dimana orangtua sebagai tokoh kunci disana. Orangtua tentu saja tidak mungkin mengawasi anak-anak dengan hanya menempatkan mereka sebagai objek pengawasan. Lebih dari itu orangtua diharapkan bisa menanam kesadaran sejak dini bagi anak-anak untuk melakukan self guard bagi diri mereka sendiri termasuk dari pengaruh destruktif layanan dunia maya. Proses membangun kesadaran ini juga sebetulnya bisa cukup efektif dimulai dari kekuatan religi serta membekali anak dengan nilai dan norma serta etika-etika social dalam masyarakat. Tentu saja ini dilakukan dengan adanya keterlibatan anak secara sadar.
Selain itu ada perlu direct treatment katakanlah orangtua bisa saja tidak perlu melengkapi anak-anak dengan ponsel berfasilitas internet. Pembatasan waktu aktivitas internet diluar rumah juga penting untuk dilakukan. Jika fasilitas ini disediakan di rumah, orangtua perlu memastikan bahwa computer yang ada internetnya bisa diletakan di tempat yang mudah diakses semua orang, ruang keluarga misalnya. Orangtua juga bisa mendampingi anak-anak saat mereka berinternetan dirumah. Para orangtuapun perlu memiliki akun Facebook untuk memonitor bagaimana simpul interaksi anak-anak dengan teman-temannya.
Bagi orangtua yang paham dan punya skill dibidang informasi dan telekomunikasi justru sebenarnya dapat mendampingi anak mereka saat berinternetan ke arah proses kreatif lain. Ada lesson learnt dari penganugerahaan anak berprestasi dalam bidang IT awal 2011 ini. Muhamad Yahya, bocah 11 tahun, satu dari lima anak yang menunjukan kemampuan luar biasa dalam bidang IT. Reputasi anak-anak ini dalam bidang IT dibangun dengan kreatifitas membuat program antivirus bernama Artav, sebuah situs jejaring sosial bernama saling sapa.com, dan menciptakan berbagai fitur aplikasi Game Mobile,
Selain inspirasi di atas, selebihnya, proses membangun kesadaran terhadap pentingnya melindungi anak-anak dari pengaruh buruk mengakses internet harus disematkan secara kolektif dibenak semua orang dewasa dan orangtua dalam kehidupan bermasyarakat. Ini penting kita lakukan sebagai realiasasi tanggung jawab social dalam rangka turut mengarusutamakan hak dan perlindungan bagi anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar