Senin, 14 November 2011

My Opinion


Mandiri Dengan Anggur Merah?
Oleh; Mohamad Nasrul AN

                        Senin 20 Desember 2010, Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM), sebuah program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bertepatan dengan acara peringatan HUT Provinsi NTT ke 52 di Kupang. Gubernur Frans Lebu Raya menguraikan beberapa detil program. Budget untuk DeMAM pada tahun pertama 2011 dialokasikan Rp. 81.2 Milyar untuk 287 desa penerima manfaat (beneficiaries) dari total jumlah 2.837 desa di NTT. Setiap desa mendapat jatah Rp. 250 juta. Peruntukan budget DeMAM tidak untuk peningkatan infrastruktur desa semisal pembangunan jembatan, posyandu, gedung sekolah, pengerasan jalan, dan lain-lain. Dana DeMAM semata-mata didesign untuk memacu peningkatan kemampuan ekonomi  dan daya saing desa sesuai basis keunggulan dan pemerataan keadilan.   Masing-masing desa beneficiaries didampingi seorang fasilitator yang tinggal dan bekerja mendampingi masyarakat di desa. 
            Tipikal program DeMAM seperti ini mengingatkan kita pada program Inpres Desa Tertinggal (IDT), atau semacam program Dana Bergulir dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Mekanisme pemberian dana menggunakan pendekatan kelompok masyarakat (community base group). Masyarakat menghimpun diri dalam kelompok-kelompok usaha, yang memiliki struktur organisasi sederhana.. Dalam kelompok ada pertemuan-pertemuan rutin yang prosesnya dinotulenkan. Pertemuan bisa membahas rencana-rencana, apa dan bagaimana sebuah program dilaksanakan, system monitoring dan evaluasi terhadap   usaha (program) yang akan dikembangkan kelompok. Lewat pertemuan kelompok, peran pendampingan seorang fasilitator dimulai dari sini. Hasil kesepakatan kelompok pada akhirnya nanti menjadi program kelompok yang siap menerima intervensi (budget, pendampingan) dari pihak eksternal (donor) entah pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM.
            Meski uraian Gubernur diatas tidak termasuk mekanisme penyaluran budget yang menjadi satu kesatuan dalam semacam Detail Implementasi Program DeMAM, hampir bisa dipastikan bahwa dana Rp. 250 juta tidak mungkin   menggunakan Rumah Tangga (house hold) atau bahkan individu sebagai entry point penyaluran dana selain kelompok masyarakat.  Jika benar DeMAM juga memakai pendekatan kelompok untuk mendistribusikan budget program, maka sejumlah besar tantangan sedang menanti di 287 desa beneficaries. Ada beberapa persoalan klasik yang juga dihadapi banyak lembaga pemberdayaan misalnya (1) kesiapan masyarakat baik secara kelembagaan maupun resources. Rata-rata masyarakat desa belum terbiasa mengorganisir diri dalam suatu kolompok usaha kolektif karena keterbatasan sumber daya manusia. Maka yang terjadi adalah masyarakat hanya melaksanakan rencana-rencana para desainer program tanpa inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri.  Kondisi ini menjadikan aspek community capacity building bagian tak teripisahkan dari program.     (2) Pola pikir masyarakat. Ini berkaitan dengan cara pandang terhadap kehadiran program dimana umumnya masyarakat cenderung mengasosiasikan program dengan bantuan cash fund. Boleh jadi hal ini tak lepas dari program-program emergency pemerintah seperti Program Keluarga Haraparn (PKH) dan Raskin.  Konsekwensinya adalah timbul mentalitas ketergantungan yang mematikan etos kerja dan usaha  masyarakat. (3) Pola kehidupan  social budaya. Umumnya masyarakat NTT memegang kuat adat istiadat dan tradisi. Sebuah ritual adat bisa mengabiskan puluhan hewan ternak. Secara bisnis, ini sungguh merugikan jika nilai puluhan ternak itu dihitung sebagai potensi, yang menghasilkan uang.     
            Upaya pemerintah melalui program DeMAM tampaknya dijadikan semacam stimulus bagi pertumbuhan ekonomi desa dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif, boleh dikatakan sebuah terobosan manis bagi perkembangan micro entrepreneurship di NTT. Program ini juga menjadi mulia, karena sasarannya adalah masyarakat miskin  pedesaan. Pada tataran yang lebih luas, program DeMAM  mengingatkan kita pada strategi pemerintah China menghadapi krisis keuangan global beberapa tahun terakhir.  China melegalkan keberadaan para rentenir untuk memudahkan akses masyarakat mendapat dana segar. Tujuannya cuma satu, untuk memacu pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) sekaligus menggerakan sector riil yang mati suri dihantam badai krisis moneter. Hasilnya, nilai ekspor China tetap tinggi dan barang-barang  made in China membanjiri banyak negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, keseriusan pemerintah mengembangkan UKM tampak pada kenaikan nilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang penyalurannya pada tahun 2011 ini mencapai Rp 18 Triliun ketimbang tahun 2010 sebesar Rp. 16.4 Triliun.  Dalam lingkup pemberdayaan, beberapa lembaga pemberdayaan masyarakat non pemerintah juga mulai memasukan  micro entrepreneurship sebagai salah satu domain kerja mereka. Tujuannya pun tak lain untuk membudayakan jiwa wirausaha dan mengangkat derajat kehidupan masyarakat secara ekonomi.  
            Karena sebagai stimulus, budget program DeMAM Rp.250 juta sesungguhnya bukan jaminan kemandirian  masyarakat desa. Asumsi yang dibangun adalah bagaimana mengefisienkan budget itu agar mampu; pertama, menggerakan inisiatif dan budaya  kewirausahan masyarakat desa untuk secara kolektif mengembangkan perekonomian mereka sebagai satu solusi mengatasi isu kemiskinan yang dihadapi. Kedua, impact DeMAM diharapkan bisa membawa  perubahan pola pikir dan perilaku  masyarakat, untuk menjadikan sumber-sumber potensi (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan,kerajinan rumah tangga dll) bernilai produktif ekonomis bagi kesejahtraan hidup. Impian ini cukup nyambung dengan hakekat fungsi budget DeMAM yakni menjadi dana abadi yang bergulir di desa dan menjadi daya dorong petumbuhan ekonomi desa.    
            Hal selanjutnya adalah soal resources. Para fasilitator DeMAM memainkan peran yang signifikan dalam menentukan keberhasilan program. Mereka adalah staf dilini depan yang bekerja langsung dengan masyarakat sebagai penerima manfaat program. Karena sebagai staf terdepan, mereka haruslah kumpulan orang-orang terpilih. Mereka tidak asing dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat, artinya mereka bukan orang-orang yang baru bergelut dengan dunia pemberdayaan.  Mereka juga kapabel menterjemahkan arah, sasaran, target dan outcome program, termasuk kemampuan negosiasi dan adaptasi yang baik dengan masyarakat dan lingkungan.  Dan yang terpenting, para fasilitator DeMAM adalah individu yang memiliki jiwa usaha dan wawasan yang cukup tentang pengembangan micro entrepreneurship. Ini penting untuk memudahkan mereka menjalankan tugas pendampingan agar program DeMAM benar-benar tepat sasaran. Konkritnya, kompetensi fasilitator penting, karena berkaitan dengan bagaimana mereka mengkonversikan Rp. 250 juta plus guideline program DeMAM kedalam bahasa dan aktivitas program yang sederhana, terukur, bisa dicapai, tepat waktu dan sinkron dengan kondisi masyarakat dan basis potensi desa. Fasilitator harus mampu mendorong partisipasi dan kooperasi masyarakat, salah satunya dalam bentuk inisiatif-inisiatif masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi program. Ini  tantangan bagi para fasilitator, mengingat 287 desa beneficiaries termasuk kelompok desa “berat” di NTT. Acuannya adalah criteria calon DeMAM yakni, jumlah Kepala Keluarga miskin terbanyak, jauh dari akses transportasi dan informasi, pendapatan desa rendah dan banyak lahan kritis.
             Ada kekwatiran yang mendasari mengapa aspek kompetensi fasilitator penting untuk didiskusikan. Diskusi tidak dalam posisi meragukan kemampuan para fasilitator, tetapi semata-mata menempatkan mereka sebagai ujung tombak yang menentukan keberhasilan program DeMAM dilapangan. DeMAM adalah program    pemerintah, dan karenanya ada asumsi bahwa kepentingan pejabat dan birokrat banyak bermain didalamnya. Banyak pengambilan keputusan dilakukan oleh para pejabat, satu diantaranya adalah soal pola perekrutan tenaga fasilitator. Publik mencemaskan kemurnian hasil perekrutan yang bersih dari kolusi dan nepotisme. Jika prakteknya demikian, maka akan berdampak pada pengabaian kompetensi fasilitator.
              Lebih jauh, mengabaikan aspek kompetensi adalah sebetulnya sebuah pertaruhan. Dasarnya adalah bahwa kompetensi fasilitator akan berdampak langsung pada kualitas pendampingan, dan kualitas pendampingan akan berpengaruh langsung pada keberhasilan implementasi program DeMAM.  Singkatnya, fasilitator yang tidak kompeten berpotensi pada kegagalan pendampingan dan  realisasi program. Kegagalan program tentu saja meruntuhkan reputasi pemerintah sebagai pemangku kewajiban pembangunan, maupun selaku desainer dan donatur program.   Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, dalam Dialog Tokoh Agama tentang program DeMAM di Kupang secara khusus menggugat kesiapan para pendamping. Uskup Larantuka ini mengatakan para pendamping DeMAM harus punya komitmen yang sungguh dan bekerja ekstra, sehingga aspek iman perlu dimasukan. Untuk itu, evaluasi kinerja fasilitator secara reguler mutlak perlu dilakukan selain tentu saja monitoring langsung ke lapangan oleh pemprov NTT.
            Harus pula diingat, goal program DeMAM adalah menciptakan kemandirian masyarakat desa. Sejatinya, sebuah kemandirian atau keberdayaan tidak serta merta bisa diwujudkan dalam rentang waktu tertentu, satu, dua, tiga atau lima tahun. Tetapi bahwa kemandirian itu butuh waktu dan proses. Program DeMAM sifatnya kondisional. Keberlanjutan program ini dalam jangka  panjang selepas kepemimpinan Frans Lebu Raya-Eston Foenay masih kabur. Padahal nadi sebuah aktivitas pemberdayaan didalamnya  termasuk aspek  keberlanjutan.  Karena sifatnya kondisional,  serta didesign sebagai sebuah produk kebijakan kepemimpinan politis (Gubernur-Wagub), maka para fasilitator DeMAM dituntut untuk tidak boleh berafiliasi dengan kepentingan apapun (politik) selama proses pendampingan implementasi program dimasyarakat. Satu-satu keberpihakan mereka harus dipersembahkan untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat.
            Dengan demikian,  fasilitator DeMAM mestinya mereka yang kompeten, punya visi dan komitmen memberdayakan rakyat kecil. Kemampuan itu diperlukan untuk memanfaatkan budget dan waktu yang tersedia secara optimal. Uang Rp 250 juta tahun ini harus mampu dilipatgandakan masyarakat dengan berbagai usaha produktif, tanpa harus menunggu suntikan budget pada tahun kedua, ketiga dan seterusnya.  Buatlah masyarakat DeMAM punya karakter wirausaha, jadikan desa mereka sentra-sentra ekonomi baru di NTT. Masih ada 2.550 desa lain di bumi Flobamora yang menanti sentuhan program DeMAM. Selamat bekerja!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar