Senin, 14 November 2011

My opinion


Negeri untuk Anak-Anak
               Oleh: Mohamad  Nasrul AN



Isu anak dengan segala kompleksitas masalahnya telah menjadi perhatian semua orang di belahan bumi. Bahwa anak, khususnya anak-anak di negara-negara berkembang dalam banyak segi kehidupan masih jauh dari pemenuhan hak-hak mereka secara optimal. Padahal semua negara semestinya menjadi tempat yang  nyaman bagi warganya berusia 0-18 tahun untuk bisa hidup, tumbuh kembang secara sehat, berpartisipasi serta merasa aman dalam perlindungan negara.
Di negeri bernama Indonesia, impian itu sulit diwujudkan. Dengan beban jumlah penduduk yang tumpah rua, Indonesia menjadi sebuah negeri yang kelimpungan mengurus penghuninya. Anak-anak sebagai investasi masa depan bangsa tak luput dari berbagai kondisi kehidupan yang tidak semestinya. Di berbagai kota besar, sangat mudah menjumpai anak-anak jalanan dan pekerja anak. Di pelosok-pedalaman negeri ini, banyak anak merana kekurangan akses pelayanan publik. Sekolah dasar tiada. Pusat kesehatan nun jauh dan sering ditinggal pergi petugas. Sarana air bersih kurang, macam-macam penyakit mendera. Kehidupan anak-anak menjadi jauh dibawah standard kesehatan. Pelayanan hak dasar mereka mentok. Sekian banyak anak dimobilisasi dari dusun-dusun, dikerahkan ke kota untuk berbagai kepentingan. Perdagangan orang (Trafficking) melibatkan anak-anak terjadi seperti hal biasa.
 Sampai pada titik ini, muncul pertanyaan, dimana posisi negara (pemerintah)? Bukankah negara wajib menjamin warganya tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semuanya agar bisa hidup nyaman, sehat sejahtera sesuai amanat UUD 1945?   Sulit untuk mengadu kepada siapa pertanyaan ini mendapat jawaban.
Dalam mengatasi berbagai persoalan menyangkut kehidupan warga, posisi negara kadang terapung dipermukaan, jauh dari dasar masalah yang mesti di selesaikan. Begitupun dalam menangani permasalahan anak. Anak-anak diperlakukan sama seperti orang dewasa, padahal secara fisik dan mental mereka masih lemah,  belum matang dan karenanya   butuh perlakuaan khusus agar hak-hak mereka terpenuhi.  
Saat ini peran pemerintah sebagai duty bearer untuk memastikan hak anak-anak Indonesia terpenuhi, sebetulnya banyak terbantu oleh kehadiran banyak lembaga non pemerintah lokal maupun  internasional yang peduli pada anak-anak . Dalam konteks kemitraan, posisi pemerintah diantara lembaga-lembaga diluarnya adalah  key point. Ibarat angkutan,  pemerintah adalah sopir, lembaga non pemerintah seperti kondektur dan anak-anak dengan segala persoalan adalah angkutannya. Ketika sopir bisa bertugas menjalankan angkutan itu dengan baik maka selanjutnya angkutan itu boleh bebas dari kawalan kondektur. Dengan kata lain, kapasitas lembaga-lembaga non pemerintah  adalah supporting point  bagi pemerintah. Lembaga non pemerintah hanya memfasilitasi tugas-tugas “sampingan” untuk membantu pemerintah memenuhi hak-hak anak Indonesia.
Ada  alasan-alasan mengapa fungsi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak Indonesia penting untuk diarusutamakan. Pertama, keseriusan menangani permasalahan anak terutama dengan pendekatan right base akan mempertegas  komitmen bangsa ini secara internasional seturut keterlibatan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Keberhasilan pemenuhan hak-hak anak Indonesia, juga menjadi indikator tingkat kepatuhan Indonesia pada sebuah dokumen HAM internasional yang artinya merupakan pertaruhan reputasi Indonesia dimata dunia. Kedua, amanat UUD 1945 pasal 28B ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara implisit, negara (pemerintah) memainkan setengah bagian peran pemenuhan hak anak-anak Indonesia, selain komponen lain semisal swasta, lembaga non pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Pemerintah pusat sudah membuat starting point yang bagus dengan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 2002. Tapi tidak cukup dengan itu. Belum ada dampak lanjutan yang signifikan ke tingkat bawah (Pemprov dan Kabupaten/Kota) misalnya inisiasi pembuatan perda pengarusutamaan hak dan perlindungan anak, budgeting untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan sebagainya. Benar bahwa negara sudah menunjukan peran lewat regulasi khusus perlindungan anak-anak. Pertanyaannya, seberapa signifikankah regulasi itu  menjamin pemenuhan hak-hak anak Indonesia? Kalau regulasinya bermanfaat tepat guna, kenapa  masih ada anak dipaksa menikahi orang dewasa? Mengapa banyak anak di culik sana-sisni? Mengapa  sejumlah besar anak menenteng dagangan, asongan, hilir mudik di terminal?
 Di sinilah  peran praksis Negara diperlukan. Negara, melalui para aparatur penyelenggara pemerintahan wajib  mengurangi jumlah anak yang  hidup dijalan. Sekolah dasar mesti tersebar disemua pelosok desa. Anak-anak harus bebas dari pekerjaan apapun yang merugikan perkembangan fisik dan mental. Mereka juga semestinya bebas dari diare, busung lapar, malaria, campak, polio,  dan lain sebagainya.
Jika banyak harapan masih menggantung seperti di atas, artinya peran negara tercinta kita Indonesia untuk membuat anak Indonesia sehat dan ceria masih jauh dari harapan.  Mengurus anak tidak cukup dengan barisan peraturan, tetapi bagaimana membuat mereka merasa nyaman untuk hidup sebagai anak-anak di negeri bernama Indonesia. Soal kepedulian pada anak-anak, negeri tetangga Filipina tampaknya selangkah lebih maju. Negeri abaca ini membuat Program Kota Ramah Anak di 20 provinsi tahun 1999. Program ini diawali dengan penelitian mengenai anak-anak kota yang menderita di 4 kota, antara tahun 1990-1992. Program tersebut dipercepat dengan inisiatif Walikota Pembela Anak (Mayors as Defender of Children), 1992 dan Liga Kota mengeluarkan Philippines Declaration of Commitment to Children tahun 1993. Di Indonesia kita kenal ada kota ramah anak yang digagas melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan  seperti Kupang, Padang, Solo, Malang, Sidoarjo,  Pontianak, Kutai Kertanegara, Gorontalo dan Manado. Secara perlahan gagasan ini mulai berkembang menjadi kelurahan/desa ramah anak, dan di NTT terutama di Kupang sudah ada beberapa kelurahan yang ramah anak seperti Naikoten II dan Oebufu.   
Di sisi lain, ada kontradikisi dimana pada aspek tertentu peran pemerintah tampak besar tetapi belum mencerminkan output bagus di lapangan.  Contoh, untuk mengurus anak-anak Balita saja, pemerintah punya delapan pemangku kewajiban yang bermain disana. Misalnya, Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Kesehatan, Menkokesra, Kementrian Sosial, Kementrian Pemberdayaa Perempuan, BAPPENAS, BKKBN dan Kementrian Perumahan Rakyat.
Jika system dan resources di semua sektor ini berkoordinasi dan bekerja baik, bisa dibayangkan impact yang diterima anak-anak balita Indonesia. Ini baru satu concern untuk anak balita, sementara kalau kita bicara soal anak maka itu akan melibatkan manusia yang masih  dalam kandungan sampai 18 tahun. Artinya pula, kemungkinan bertambahnya  pemangku kewajiban selain tersebut diatas cukup besar. Dan jika demikian berarti mestinya pemerintah secara kelembagaan, fasilitas, resources dan budget bisa menjamin terpenuhinya hak anak-anak Indonesia.  
Sayangnya, Bangsa ini belum melihat pentingnya eksistensi dan potensi anak-anak sebagai aset jangka panjang. Ada pelajaran dari agresi militer Israel terhadap palestina awal tahun 2009.  Ada satu hipotesis kuat menyatakan bahwa target serangan Israel sesungguhnya adalah menghabisi sebanyak mungkin anak-anak Palestina.
Jika benar, asumsi ini menunjukan bagaimana cara pandang Israel terhadap potensi anak-anak Palestina dalam konteks nation. Bahwa Hamas maupun Fatah tidak punya rudal mematikan, Israel tahu itu. Selebihnya, Israel juga sadar bahwa bangsa Palestina punya aset generasi anak-anak yang militan. Itulah ketakutan terbesar jangka panjang Palestina.
Semoga ilustrasi ini bisa sebagai stimulus bagi bangsa kita agar lebih aware untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak Indonesia sebagai aset bangsa, tentu saja dalam konteks yang positif. Mari simak sepenggal deklarasi  anak-anak yang dicanangkan pada United Nation General Assembly Special Session (UNGASS) on children pada tahun 2002- ” kami bukan sekedar sumber masalah, tetapi sumber yang diperlukan untuk mengatasi masalah; kami bukan pengeluaran, tetapi investasi, kami tidak sekedar anak-anak tetapi manusia dan warganegara di dunia”. Pesan ini  mogah-mogah menggugah para penyelenggara negara, para legislator  dan segenap komponen bangsa Indonesia. Bukankah dalam setiap kesempatan selalu ada retorika, bahwa anak adalah harapan masa depan bangsa! Anak adalah generasi penerus dan aset bangsa! Mari wujudkan itu bersama.  
                                                                                                                                         

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar