Selasa, 15 November 2011

My Place

Wilayah pantai selatan Timor Barat kabupaten Timor Tengah Selatan menyimpan beberapa potensi wisata yang sangat menarik. Pertama, obyek  wisata pantai Fatu Un di kecamatan Kolbano. Pantai ini memiliki sebuah batu berukuran setinggi kurang lebih 15 meter persis dibibir pantai dengan  hamparan batu-batu warna disepanjang pantai. Batu warna itu dihempaskan ombak besar dari dasar lautan.  Batu besar itu dalam bahasa lokal di sebut dengan Fatu Un....
Pantai Fatu Un berhadapan dengan laut Timor yang biru jernih sebagai pemisah pulau Timor dengan Negara Australia. Berjarak sekitar 150 km dari Kupang dan dapat ditempuh dengan 3 jam perjalanan dengan bis.

Kedua, Pantai Wisata oe Tune yang terletak di Kecamatan Kualin berbatasan dengan kecamatan Kolbano. Pantai ini memanjang sekitar 10 km dengan hamparan pasir putih, laut nan biru serta rimbunnya pohon lontar menambah eksotic pantai ini. Jarak dari Kupang sekitar 140 km, pengunjung bisa menjadikan kedua obyek ini sebagai satu paket tujuan wisata karena letaknya yang berdekatan.

Selamat mengunjungiiiiiiiiiiiiiiii....... 

Senin, 14 November 2011

My Opinion


     UN dan Asa Para Guru Pelosok
                                (Catatan menjelang UN SMA)

Oleh Mohamad Nasrul AN
Rendahnya presentasi kelulusan siswa dalam  Ujian Nasional (UN) tahun 2010 di Provinsi Nusa Tenggara Timur  telah mendorong para pemangku kewajiban menempuh  sejumlah strategi untuk menghadapi UN 2011. Judul besarnya Siaga UN 2011. Bermacam-macam breakdown aktivitas sudah dilakukan oleh pemerintah (Dinas PPO) Provinsi-Kabupaten/Kota  dan ditingkat sekolah. Banyak cara ditempuh seperti bedah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), try out, membuat prediksi soal UN 2011, les tambahan, pembentukan kelompok belajar, bimbingan belajar dan lain-lain.
            Target yang ingin disasar semua aktivitas di atas satu, yakni membantu peserta didik mencapai standard kelulusan nilai mata pelajaran UN tahun ini. Tulisan ini ingin mengangkat aspek lain yang memiliki kontribusi sama penting dalam rangka meningkatkan presentase kelulusan siswa-siswi dalam UN 2011 dan tahun-tahun mendatang.   Aspek yang dimaksud yaitu  membangun kapasitas  para guru sebagai fasilitator proses belajar bagi peserta didik di kelas. Sebagai fasilitator kelas, guru memainkan peran yang sungguh penting. Sebagaimana Bernie Neville melukiskan proses yang dijalankan seorang guru “Teaching is not only about transferring knowledge, but how to imparting the knowledge to learners”. Bahwa peran guru dikelas tidak melulu tentang bagaimana memindahkan ilmu dan pengetahuannya kepada peserta didik, tetapi lebih pada bagaimana cara menyampaikannya dengan cara-cara  metodis yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi peserta untuk memahami pelajaran. Proses pembelajaran yang melibatkan peran aktif siswa, membangun kreatifitas mereka, dengan pemanfaatan sumber –sumber belajar secara efektif dalam suasana menyenangkan merupakan satu diantara sekian banyak metode yang popular saat ini. Untuk memfasilitasi proses tersebut, dibutuhkan guru yang  unggul secara core ilmu, dan terampil (well trained) guna mendukung proses belajar yang  berkualitas.  Feliks Tans ketika berbicara dalam Seminar Nasional Pengembangan Profesionalitas Guru Indonesia di Kupang, 09/04/2011 menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator belajar yang memberi inspirasi dan menumbuhkembangkan etos belajar mandiri pada diri peserta didik.
Untuk mewujudkan profil guru demikian, maka aspek pengembangan sumber daya manusia (PSDM) melalui program-program terencana dan kontinyu semisal pelatihan, bimtek, workshop, lokakarya, magang , study banding,  mestinya banyak melibatkan guru-guru. Para stakeholder pendidikan ( Pemerintah melalui Dinas PPO, PGRI, DPRD, LSM,)  bisa bersinergi untuk katakanlah mendraft program-program demikian dalam program kerja mereka.      
Situasi minimnya program kapasitasi guru, secara telak lebih dirasakan para guru di wilayah pelosok dan pedalaman yang jauh dan terbatas dalam banyak hal, fasilitas dan akses misalnya. Harus diakui banyak guru di daerah pelosok dan desa yang menjalankan peran dan tanggungjawab mengajar dan mendidik dalam kondisi apa adanya. Mereka jarang mengikuti pelatihan, khususnya berkaitan dengan administrasi pengajaran, metode, pengembangan materi dan kurikulum. Padahal seperti diketahui muatan kurikulum pengajaran sekarang sarat dengan berbagai komponen administratif yang harus dikuasai seorang guru. Bahkan ada guru-guru yang telah bertahun-tahun bekerja tanpa sekalipun mengikuti ekstra pendidikan atau pelatihan yang menunjang peran dan tugas pokok sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai konsekwensi, guru-guru demikian bisa mengandalkan core ilmunya untuk diberikan kepada peserta didik, tetapi tidak terampil dalam mendesain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, mengembangkan silabus, menganalisis butir soal dan perangkat lain sebagai penjabaran dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Padahal, kemampuan atau kompetensi tenaga kependidikan (guru) mengembangkan perangkat-perangkat pembelajaran ini termasuk salah satu syarat Standard Nasional pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Untuk menjawab masalah ini, perlu ada identifikasi peran para stakeholder, terutama para pengambil kebijakan untuk memberi perhatian, jika memang mau dan serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita secara komprehensif, jangka panjang, tidak hanya untuk target-target tertentu semacam keberhasilan dalam UN.
Pertama, Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga sebagai SKPD yang bertanggungjawab dibidang pendidikan sebenarnya banyak diharapkan perannya. Salah satu misalnya dengan memasukan aspek peningkatan kapasitas guru sebagai satu program regular dan berlanjut. Data yang disajikan Sekretaris Dinas PPO Provinsi NTT Klemens Meba dalam Seminar Nasional Pengembangan Profesionalitas Guru Indonesia menunjukan jumlah guru di NTT adalah 73.763 orang dengan berbagai kualifikasi pendidikan. Sejumlah 6.683 orang diantaranya adalah guru SMA. Dari jumlah guru SMA itu, sejak tahun 2008-2011, Dinas PPO Provinsi hanya mampu mengcover 973 guru untuk penguatan kompetensi melalui sejumlah kegiatan seperti Center MIPA, Center Bahasa Inggris, Workhsop Penyusunan soal SMA, Bimtek KTSP SMA, manajemen Lab. IPA, Workhsop MGMP SMA dan Workhsop MBS.  Ini artinya masih ada 5 ribuan guru SMA yang belum tersentuh program-program di atas. Hal yang semestinya juga perlu dipikirkan oleh Dinas PPO kabupaten/Kota. Data lain adalah proyeksi perbandingan hasil UN tingkat SMA/MA tahun pelajaran 2008/2009 dan 2009/2010, dari 21 Kabupaten di NTT, hanya empat kabupaten/kota yang mengalami trend kenaikan pada UN 2010, yakni Kota Kupang, Sumba Barat, Sumba Barat Daya dan Sabu Raijua. Sisanya 17 Kabupaten menurun pada UN tahun 2010. Sejauh ini, untuk mengangkat presentasi kelulusan dalam UN 2011 diberbagai kabupaten/kota di NTT, respon justru datang dari pemerintah pusat dengan stimulasi sejumlah dana untuk peningkatan kapasitas guru mata pelajaran UN pada sekolah-sekolah yang rendah peresentasi kelulusannya dalam UN 2010. Besar harapan, Pemda melalui Dinas PPO terutama kabupaten/kota  menindaklanjuti program ini menjadi agenda tahunan dengan cakupan pelayanan yang lebih luas pula, menjangkau sekolah dan  guru-guru yang bertugas dipelosok dan pedalaman kampung.  Bentuk tindak lanjut itu sekaligus untuk membalikan pola pendekatan responsif,  ada kasus (presentasi kelulusan UN rendah) lalu respon (program) dibuat, tetapi respon mestinya tetap diberikan dengan atau tanpa kasus. 
Kedua, harapan besar juga disematkan pada pundak para anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota. Fungsi anggaran mereka bisa ditunjukan misalnya dengan memastikan adanya keseimbangan antara anggaran fisik dan non fisik semacam pendidikan dan pelatihan bagi para guru dalam APBD.  Ini untuk menjamin bahwa ketiadaan program pengkapasitasian guru karena alasan  anggaran tidak mendukung. Budgeting dibidang pendidikan tidak semata-mata untuk bangun dan rehab gedung sekolah, harus diimbangi dengan ketersediaan kapasitas tenaga pengajar yang memadai, terlatih dan kompeten.
Ketiga, peran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) daerah juga sebenarnya sangat vital. Sebagai wadah bernaung  guru-guru pada semua jenjang pendidikan, PGRI minimal bisa melakukan loby dan advokasi ke pemerintah, DPRD dan Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM. Langkah ini dilakukan untuk membuka ruang kolaborasi dan kerjasama  dalam rangka perbaikan mutu para guru lewat pendidikan dan pelatihan. Guru-guru di pedalaman dan pelosok merindukan perhatian PGRI daerah dengan memfasilitasi mereka dalam pelatihan dan semacamnya.  
Keempat,  keberadaan LSM, Perguruan Tinggi, Organisasi nirlaba yang  memiliki program-program pengembangan pendidikan dasar dan menengah juga memberi kontribusi bagi terlaksananya suatu program pengembangan sumber daya manusia para guru. Beberapa LSM local dan internasional bahkan memiliki program yang cukup lengkap menangani pendidikan. Secara fisik mereka membantu peningkatan sarana pendidikan dalam bentuk support ruangan belajar, buku-buku, media belajar kreatif serta meubel. Sedangkan intervensi non fisik diantaranya memfasilitasi program peningkatan kapasitas guru, bahkan komite untuk kepentingan pengembangan sekolah. Berbagai Pelatihan, Workshop, ToT, Lokakarya yang relevan seperti pengembangan material dan kurikulum, metode dan administrasi pengajaran, membuat alat bantu dan media belajar dari bahan-bahan local, diselenggarakan. Semuanya didesain untuk meningkatkan dan mengasah soft skill yang mencakup kemampuan manajerial, berbicara, kepemimpinan, pemecahan masalah, fasilitasi proses, kreatifitas dan lain-lain. Semua kemampuan itu diperlukan semata-mata untuk mendukung kinerja para guru untuk kemudian memberikan dampak lanjutannya pada keberhasilan belajar peserta didik.
 Sayangnya, proses pengkapasitasian itu belum melibatkan lebih banyak guru, khususnya guru-guru di wilayah pedalaman yang memiliki banyak keterbatasan. Program demikian cenderung lebih banyak melibatkan para guru di kota, atau guru-guru yang bertugas di wilayah dampingan sebuah LSM.   Akibatnya, terjadi ketimpangan keterampilan dan pengetahuan yang mencolok antara guru-guru di kota dan daerah pedesaan, selain perbedaan kuantitas akibat distribusi yang tidak merata. Para guru di pedalaman lebih banyak menganut prinsip bekerja sambil belajar (learning by doing). Mereka bekerja dengan minim supervisi dan senantiasa mengandalkan sharing dengan sesama rekan sejawat.
Kondisi demikian menjadi kontras dengan profil guru sebagaimana amanat UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang mendefinisikan Guru sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik .  Rentetan tugas ini mencerminkan tuntutan karya seorang guru yang setinggi-tingginya, akan tetapi disisi lain mereka tidak dibekali keterampilan dan kemampuan yang seimbang.  Secara fakta, banyak guru di wilayah pelosok dan pedalaman masih jauh dari   apa yang disebut dengan profesionalitas. Guru-guru direkrut, ditempatkan lalu bekerja, dan selesai. Pada hal dari sekian banyak jumlah yang direkrut, tidak sedikit dari mereka yang baru menggeluti dunia pengajaran (fresh graduate) yang minim pengalaman. Mereka mungkin kuat pada content ilmu mereka, tapi belum familiar dan terampil dalam membuat perangkat-perangkat pembelajaran yang kontekstual dengan kondisi sekolah dan siswa. Seluk beluk Kurikulum sekarang tidak mereka pelajari secara detil di kampus. Padahal Keputusan Mendiknas RI No 053./U/200 menerangkan bahwa guru harus memiliki kemampuan dasar dan sikap antara lain, menguasai kurikulum yang berlaku, menguasai materi pelajaran, menguasai metode, menguasai teknik evaluasi dan memiliki komitmen dalam tugas, disiplin dalam pengertian luas.   Pada titik inilah urgensi pelatihan, bimtek, workshop atau kegiatan sejenisnya diselenggarakan.   Dalam perspektif human resources, guru semestinya dijadikan sebagai aset bagi sebuah investasi bernama pendidikan. Sayangnya, belum semua orang benar-benar menyadari bahwa pendidikan itu sebenarnya adalah investasi jangka panjang yang sungguh bernilai bagi hidup umat manusia.
Kualin,  Maret 2011.

My opinion


Negeri untuk Anak-Anak
               Oleh: Mohamad  Nasrul AN



Isu anak dengan segala kompleksitas masalahnya telah menjadi perhatian semua orang di belahan bumi. Bahwa anak, khususnya anak-anak di negara-negara berkembang dalam banyak segi kehidupan masih jauh dari pemenuhan hak-hak mereka secara optimal. Padahal semua negara semestinya menjadi tempat yang  nyaman bagi warganya berusia 0-18 tahun untuk bisa hidup, tumbuh kembang secara sehat, berpartisipasi serta merasa aman dalam perlindungan negara.
Di negeri bernama Indonesia, impian itu sulit diwujudkan. Dengan beban jumlah penduduk yang tumpah rua, Indonesia menjadi sebuah negeri yang kelimpungan mengurus penghuninya. Anak-anak sebagai investasi masa depan bangsa tak luput dari berbagai kondisi kehidupan yang tidak semestinya. Di berbagai kota besar, sangat mudah menjumpai anak-anak jalanan dan pekerja anak. Di pelosok-pedalaman negeri ini, banyak anak merana kekurangan akses pelayanan publik. Sekolah dasar tiada. Pusat kesehatan nun jauh dan sering ditinggal pergi petugas. Sarana air bersih kurang, macam-macam penyakit mendera. Kehidupan anak-anak menjadi jauh dibawah standard kesehatan. Pelayanan hak dasar mereka mentok. Sekian banyak anak dimobilisasi dari dusun-dusun, dikerahkan ke kota untuk berbagai kepentingan. Perdagangan orang (Trafficking) melibatkan anak-anak terjadi seperti hal biasa.
 Sampai pada titik ini, muncul pertanyaan, dimana posisi negara (pemerintah)? Bukankah negara wajib menjamin warganya tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semuanya agar bisa hidup nyaman, sehat sejahtera sesuai amanat UUD 1945?   Sulit untuk mengadu kepada siapa pertanyaan ini mendapat jawaban.
Dalam mengatasi berbagai persoalan menyangkut kehidupan warga, posisi negara kadang terapung dipermukaan, jauh dari dasar masalah yang mesti di selesaikan. Begitupun dalam menangani permasalahan anak. Anak-anak diperlakukan sama seperti orang dewasa, padahal secara fisik dan mental mereka masih lemah,  belum matang dan karenanya   butuh perlakuaan khusus agar hak-hak mereka terpenuhi.  
Saat ini peran pemerintah sebagai duty bearer untuk memastikan hak anak-anak Indonesia terpenuhi, sebetulnya banyak terbantu oleh kehadiran banyak lembaga non pemerintah lokal maupun  internasional yang peduli pada anak-anak . Dalam konteks kemitraan, posisi pemerintah diantara lembaga-lembaga diluarnya adalah  key point. Ibarat angkutan,  pemerintah adalah sopir, lembaga non pemerintah seperti kondektur dan anak-anak dengan segala persoalan adalah angkutannya. Ketika sopir bisa bertugas menjalankan angkutan itu dengan baik maka selanjutnya angkutan itu boleh bebas dari kawalan kondektur. Dengan kata lain, kapasitas lembaga-lembaga non pemerintah  adalah supporting point  bagi pemerintah. Lembaga non pemerintah hanya memfasilitasi tugas-tugas “sampingan” untuk membantu pemerintah memenuhi hak-hak anak Indonesia.
Ada  alasan-alasan mengapa fungsi pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak Indonesia penting untuk diarusutamakan. Pertama, keseriusan menangani permasalahan anak terutama dengan pendekatan right base akan mempertegas  komitmen bangsa ini secara internasional seturut keterlibatan Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA). Keberhasilan pemenuhan hak-hak anak Indonesia, juga menjadi indikator tingkat kepatuhan Indonesia pada sebuah dokumen HAM internasional yang artinya merupakan pertaruhan reputasi Indonesia dimata dunia. Kedua, amanat UUD 1945 pasal 28B ayat 2 secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Secara implisit, negara (pemerintah) memainkan setengah bagian peran pemenuhan hak anak-anak Indonesia, selain komponen lain semisal swasta, lembaga non pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Pemerintah pusat sudah membuat starting point yang bagus dengan Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 2002. Tapi tidak cukup dengan itu. Belum ada dampak lanjutan yang signifikan ke tingkat bawah (Pemprov dan Kabupaten/Kota) misalnya inisiasi pembuatan perda pengarusutamaan hak dan perlindungan anak, budgeting untuk kepentingan terbaik bagi anak, dan sebagainya. Benar bahwa negara sudah menunjukan peran lewat regulasi khusus perlindungan anak-anak. Pertanyaannya, seberapa signifikankah regulasi itu  menjamin pemenuhan hak-hak anak Indonesia? Kalau regulasinya bermanfaat tepat guna, kenapa  masih ada anak dipaksa menikahi orang dewasa? Mengapa banyak anak di culik sana-sisni? Mengapa  sejumlah besar anak menenteng dagangan, asongan, hilir mudik di terminal?
 Di sinilah  peran praksis Negara diperlukan. Negara, melalui para aparatur penyelenggara pemerintahan wajib  mengurangi jumlah anak yang  hidup dijalan. Sekolah dasar mesti tersebar disemua pelosok desa. Anak-anak harus bebas dari pekerjaan apapun yang merugikan perkembangan fisik dan mental. Mereka juga semestinya bebas dari diare, busung lapar, malaria, campak, polio,  dan lain sebagainya.
Jika banyak harapan masih menggantung seperti di atas, artinya peran negara tercinta kita Indonesia untuk membuat anak Indonesia sehat dan ceria masih jauh dari harapan.  Mengurus anak tidak cukup dengan barisan peraturan, tetapi bagaimana membuat mereka merasa nyaman untuk hidup sebagai anak-anak di negeri bernama Indonesia. Soal kepedulian pada anak-anak, negeri tetangga Filipina tampaknya selangkah lebih maju. Negeri abaca ini membuat Program Kota Ramah Anak di 20 provinsi tahun 1999. Program ini diawali dengan penelitian mengenai anak-anak kota yang menderita di 4 kota, antara tahun 1990-1992. Program tersebut dipercepat dengan inisiatif Walikota Pembela Anak (Mayors as Defender of Children), 1992 dan Liga Kota mengeluarkan Philippines Declaration of Commitment to Children tahun 1993. Di Indonesia kita kenal ada kota ramah anak yang digagas melalui Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan  seperti Kupang, Padang, Solo, Malang, Sidoarjo,  Pontianak, Kutai Kertanegara, Gorontalo dan Manado. Secara perlahan gagasan ini mulai berkembang menjadi kelurahan/desa ramah anak, dan di NTT terutama di Kupang sudah ada beberapa kelurahan yang ramah anak seperti Naikoten II dan Oebufu.   
Di sisi lain, ada kontradikisi dimana pada aspek tertentu peran pemerintah tampak besar tetapi belum mencerminkan output bagus di lapangan.  Contoh, untuk mengurus anak-anak Balita saja, pemerintah punya delapan pemangku kewajiban yang bermain disana. Misalnya, Kementrian Pendidikan Nasional, Kementrian Kesehatan, Menkokesra, Kementrian Sosial, Kementrian Pemberdayaa Perempuan, BAPPENAS, BKKBN dan Kementrian Perumahan Rakyat.
Jika system dan resources di semua sektor ini berkoordinasi dan bekerja baik, bisa dibayangkan impact yang diterima anak-anak balita Indonesia. Ini baru satu concern untuk anak balita, sementara kalau kita bicara soal anak maka itu akan melibatkan manusia yang masih  dalam kandungan sampai 18 tahun. Artinya pula, kemungkinan bertambahnya  pemangku kewajiban selain tersebut diatas cukup besar. Dan jika demikian berarti mestinya pemerintah secara kelembagaan, fasilitas, resources dan budget bisa menjamin terpenuhinya hak anak-anak Indonesia.  
Sayangnya, Bangsa ini belum melihat pentingnya eksistensi dan potensi anak-anak sebagai aset jangka panjang. Ada pelajaran dari agresi militer Israel terhadap palestina awal tahun 2009.  Ada satu hipotesis kuat menyatakan bahwa target serangan Israel sesungguhnya adalah menghabisi sebanyak mungkin anak-anak Palestina.
Jika benar, asumsi ini menunjukan bagaimana cara pandang Israel terhadap potensi anak-anak Palestina dalam konteks nation. Bahwa Hamas maupun Fatah tidak punya rudal mematikan, Israel tahu itu. Selebihnya, Israel juga sadar bahwa bangsa Palestina punya aset generasi anak-anak yang militan. Itulah ketakutan terbesar jangka panjang Palestina.
Semoga ilustrasi ini bisa sebagai stimulus bagi bangsa kita agar lebih aware untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak Indonesia sebagai aset bangsa, tentu saja dalam konteks yang positif. Mari simak sepenggal deklarasi  anak-anak yang dicanangkan pada United Nation General Assembly Special Session (UNGASS) on children pada tahun 2002- ” kami bukan sekedar sumber masalah, tetapi sumber yang diperlukan untuk mengatasi masalah; kami bukan pengeluaran, tetapi investasi, kami tidak sekedar anak-anak tetapi manusia dan warganegara di dunia”. Pesan ini  mogah-mogah menggugah para penyelenggara negara, para legislator  dan segenap komponen bangsa Indonesia. Bukankah dalam setiap kesempatan selalu ada retorika, bahwa anak adalah harapan masa depan bangsa! Anak adalah generasi penerus dan aset bangsa! Mari wujudkan itu bersama.  
                                                                                                                                         

































My Opinion


Digital Native, Keruntuhan Moral Anak-Anak dan Remaja

Oleh; Mohamad Nasrul AN

Perkembangan dunia informasi dan telekomunikasi yang tak terbendung telah melibatkan sejumlah besar anak-anak dan remaja sebagai pengguna aktif produk-produk teknologi. Digital Native, demikian istilah yang dipakai peneliti dari Pusat Kajian Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Kahardityo untuk memposisikan anak-anak dan remaja masa kini, yang seolah memiliki dunia sendiri dimana mereka lahir dan tumbuh di era digital. Sebuah dunia dimana anak-anak dan remaja memiliki cara berpikir, berbicara dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya (Kompas, 08/02/2010).
Layanan internet misalnya, kini bisa dengan mudah diakses melalui Telepon Seluler (ponsel) atau warung internet (warnet), kapanpun, oleh siapapun dan dimana saja. Aksesabilitas yang mudah ini mendorong sebagian besar anak-anak dan remaja menjadi begitu maniak pada internet. Hasil riset bersama Yahoo dan Taylor Neslon Sofres menyebutkan pada tahun 2009, pengguna terbesar internet di Indonesia didominasi usia 15-19 tahun.
Fenomena yang terjadi belakangan, terdapat lompatan besar jumlah anak-anak dan remaja pengakses internet, khususnya pada situs-situs jejaring social. Friendster, Facebook, Twitter dan Blog telah banyak merebut hati  anak-anak muda Indonesia. Content layanan-layanan ini ibarat magnet, punya daya tarik luar biasa karena umumnya nyambung dengan tipikal interaksi social para kaum muda yang gaul, punya rasa ingin tahu yang besar, dan cenderung ingin memiliki banyak teman.  
Salah satu situs jejaring social yang saat ini tengah sangat populer adalah Facebook. Data yang dilansir Alexa (www.alexa.com) menempatkan Indonesia pada urutan tujuh dengan user Facebook terbanyak di dunia. Facebook menjadi situs nomor satu di Indonesia dengan jumlah pengguna 12 juta dan mengalami lonjakan pengguna mencapai 700.000 orang per bulan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan beberapa operator selular yang menyebutkan trafik internet mobile yang tinggi mencapai 40-60% didominasi para Facebookers.
Popularitas situs asal Amerika ini seakan mencapai klimaks seiring pemberitaan berbagai media cetak dan elektronik tanah air beberapa pekan belakangan menyangkut penyalahgunaan situs ini sebagai media melakukan kejahatan cyber.
Transaksi prostitusi via Facebook yang melibatkan anak-anak remaja sekolah menengah di Surabaya baru-baru ini dan berhasil dibongkar aparat kepolisian, begitu menyita perhatian public Indonesia. TV One melalui program Kabar Siang edisi 12/02/2010 memotret kenekatan seorang remaja putri kelas 1 sebuah SMA di Surabaya, yang kabur selama 5 hari dari rumahnya. Remaja ini berangkat dari Surabaya menuju  Jakarta hanya untuk menemui seorang lelaki teman chattingnya diFacebook. Celakanya, remaja ini dengan polos mengakui motif kedatangannya karena tertarik dan penasaran dengan penampilan fisik teman chatting yang dilihatnya difoto profil. Masih dalam program yang sama TV One pada edisi 14/02/2010 juga mengangkat ksus yang menimpa Rahma mahasiswi 19 tahun di Purwokerto yang diduga diculik jaringan perdagangan orang yang beraksi lewat Facebook..  Sementara Trans 7 dalam program Redaksi Pagi edisi 15/02/2010 melaporkan dari Tanjung Pinang Kepulauan Riau, sebuah SMA memecat 4 siswanya yang ketahuan menghina guru mereka dengan berbagai comment diakun Facebook mereka
 Selebihnya mari kita periksa aktivitas sekian banyak pengguna remaja di Facebook. Pertama, kita akan disuguhi foto-foto vulgar baik sebagai foto profil atau dalam album dengan busana minim. Foto-foto itu bahkan bebas diakses oleh pengguna lain, sesuatu yang semestinya berada dalam batas privasi. Privasi merupakan segala sesuatu yang hanya menjadi self right bagi diri sendiri. Dan karenanya, ia ada dalam lingkup domestik pribadi, simbol kedaulatan pribadi, tidak untuk diketahui semua orang.       Kedua, begitu banyak user remaja yang meng up date status dan menulis comment dengan bahasa yang kuat nuansa pornografinya. Ketakutan terbesar adalah jika aktivitas direlasi jejaring sosial ini diteruskan dalam aktivitas porno secara fisik. Ini diluar aktivitas lain semacam chatting dan messaging yang juga berpotensi terjadi kejahatan dalam bentuk lain yang lebih mencemaskan  seperti virtual seks, sampai transkaksi trafficking.
Fakta-fakta ini menyodorkan kita sebuah ancaman besar, dimana moral, mental, emosi, perilaku serta kepribadian kaum muda kita berada diambang keruntuhan oleh produk teknologi. Fakta ini juga sebetulnya bisa jadi tolak ukur kematangan mind set para remaja untuk menerima dan memanfaatkan produk teknologi untuk kemaslahatan hidup. Aktivitas demikian juga menggambarkan ketidaksiapan, kelemahan, serta ketidakpekaan mereka memanfaatkan teknologi untuk hal-hal positif.
Sangat mengkhwatirkan, manakala ancaman degradasi moral justru menerpa kelompok anak-anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Jika merujuk pada hasil riset Yahoo dan Taylor Neslon Sofres diatas bahwa jumlah pengunjung internet di Indonesia didominasi oleh jenjang usia 15-19 tahun dan sesuai UU Nomor 23 Tahun 2002 dimana anak adalah seorang berusia 0-18 tahun, maka bukan tidak mungkin jumlah pengguna Facebook di Indonesia juga didominasi oleh usia anak-anak.  Tulisan ini hanya memberikan concern pada aktivitas anak-anak dan remaja mengakses layanan situs jejaring social yang secara awam bisa dianggap aman, diluar sekian banyak situs porno yang bertebaran dan bebas diakses.
Fenomena ini selanjutnya menjadi pekerjaan rumah para orangtua untuk  memikirkan bagaimana memproteksi anak-anak mereka dalam mengakses layanan-layanan dunia cyber. Berbagai fakta diatas semestinya cukup membangun kesadaran orangtua pada pentingnya peran control terhadap aktivitas online anak-anak meraka. Benteng pertama harus dibuat dari lingkup keluarga dimana orangtua sebagai tokoh kunci disana. Orangtua tentu saja tidak mungkin mengawasi  anak-anak dengan hanya menempatkan mereka sebagai objek pengawasan. Lebih dari itu orangtua diharapkan bisa menanam kesadaran sejak dini bagi anak-anak untuk melakukan self guard bagi diri mereka sendiri termasuk dari pengaruh destruktif layanan dunia maya. Proses membangun kesadaran ini juga sebetulnya bisa cukup efektif dimulai dari kekuatan religi serta membekali anak dengan nilai dan norma serta etika-etika social dalam masyarakat. Tentu saja ini dilakukan dengan adanya keterlibatan anak secara sadar.
Selain itu ada perlu direct treatment katakanlah orangtua bisa saja tidak perlu melengkapi anak-anak dengan ponsel berfasilitas internet. Pembatasan waktu aktivitas internet diluar rumah juga penting untuk dilakukan. Jika fasilitas ini disediakan di rumah, orangtua perlu memastikan bahwa computer yang ada internetnya bisa diletakan di tempat yang mudah diakses semua orang, ruang keluarga misalnya. Orangtua juga bisa mendampingi anak-anak saat mereka berinternetan dirumah. Para orangtuapun perlu memiliki akun Facebook untuk memonitor bagaimana simpul interaksi anak-anak dengan teman-temannya.
Bagi orangtua yang paham dan punya skill dibidang informasi dan telekomunikasi justru sebenarnya dapat mendampingi anak mereka saat berinternetan ke arah proses kreatif lain. Ada lesson learnt dari penganugerahaan anak berprestasi dalam bidang IT awal 2011 ini.  Muhamad Yahya, bocah 11 tahun,  satu dari lima anak yang menunjukan kemampuan luar biasa dalam bidang IT. Reputasi anak-anak ini  dalam bidang IT dibangun dengan kreatifitas membuat program antivirus bernama Artav, sebuah situs jejaring sosial bernama saling sapa.com, dan menciptakan berbagai fitur aplikasi Game Mobile,
 Selain inspirasi di atas, selebihnya, proses membangun kesadaran terhadap pentingnya melindungi anak-anak dari pengaruh buruk mengakses internet harus disematkan secara kolektif dibenak semua orang dewasa dan  orangtua dalam kehidupan bermasyarakat. Ini penting kita lakukan sebagai realiasasi tanggung jawab social dalam rangka turut mengarusutamakan hak dan perlindungan bagi anak-anak kita.   

My Opinion


Sebelum Menatap DeMAM Jilid Dua
Oleh: Mohamad Nasrul Aba Nuen

Duet kepemimpinan Frans Lebu Raya – Esthon Foenay   membangun sector usaha kecil menengah,  melalui  program pemberdayaan ekonomi masyarakat berlabel Desa Mandiri Angggur Merah (DeMAM), akan selesai tahap pertama implementasi.
Sejak dimplementasi mulai awal 2011, program ini menarik perhatian yang luas public NTT. DeMAM menarik atensi public diantaranya disebabkan oleh pertama, ia  merupakan tipikal program pemberdayaan pertama di NTT yang digagas oleh pemerintah Provinsi dengan jumlah dana yang besar dari APBD I. Kedua DeMAM oleh banyak pihak dianggap meng copy paste program serupa dimasa lalu seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT).  Ketiga, DeMAM mengambil desa-desa miskin sebagai sasaran program tetapi kapasitas masyarakat belum disiapkan secara baik untuk mengelola dana ratusan juta. Keempat, proses perekrutan staf Pendamping Kelompok Masyarakat (PKM) yang dinilai kurang  akuntabel  dan transparan.      
Setelah setahun berjalan, beberapa sorotan di atas mesti menjadi point of considerations pemerintah mengevaluasi implementasi program.   Hemat penulis, ada beberapa hal krusial  yang patut dimasukan dalam suatu evaluasi komprehensif.
 Pertama, program DeMAM menghabiskan anggaran yang besar. Selain mempertegas keberpihakan pada rakyat, dana sejumlah Rp. 81.2 Milyar pada tahun  pertama juga sekaligus merupakan ’investasi’ pemerintah dalam wujud yang paling nyata. Oleh karena pemerintah tidak duduk mengitung laba disetiap akhir tahun program dari investasi itu, maka perlu dipastikan, efektivitas pemanfaatan dana itu dapat menghasilkan apa yang dalam benak para desainer program disebut dengan kesejahteraan dan kemandirian bagi masyarakat penerima manfaat (beneficaries).
Salah satu tolak ukur sederhana untuk mengukur kemandirian nampak dari dampak program terhadap kehidupan para beneficaries . Ada perubahan-perubahan positif semisal pola pikir (mind set), perilaku (behaviour) dan kesadaran (awareness) masyarakat. Dalam  konteks DeMAM, perubahan itu  bisa dibahasakan dengan (a) inisiatif  dan cara pandang masyarakat  terhadap berbagai potensi ekonomi yang ada di desa sebagai sumber penghasilan, (b) meningkatnya etos kerja masyarakat untuk mengembangkan dan mengkonversikan sumber-sumber potensi lokal menjadi uang dan (c) tumbuhnya semangat dan budaya wirausaha dengan memanfaatkan keunggulan dan potensi lokal sebagai basis.   
Dengan demikian, efektivitas penggunaan budget program menjadi penting untuk dievaluasi. Apalagi, Pemprov bahkan sudah menganggarkan dana sejumlah Rp. 74,5 Miliar untuk program tahun kedua 2012 sebagaimana disampaikan  Kepala Badan Perencanaan  Pembangunan Daerah (Bappeda) NTT, Ir. Wayan Darmawa, (Pos Kupang, 1/11/2011). Kajian terhadap efektivitas penggunaan dana perlu dilakukan, untuk menepis kesan DeMAM sebagai spending oriented program. Pemerintah yakin dan percaya bahwa DeMAM tidak hanya sekedar dibuat untuk menghabiskan anggaran. Oleh karena itu, keterserapan dana tahun pertama hingga akhir Oktober 2011 sejumlah Rp. 71,68 Miliar atau 99,05 % sama sekali bukan jaminan keberhasilan DeMAM. Sejalan dengan Wakil Ketua DPRD NTT, Nelson Matara, yang mengatakan ukuran kualitas DeMAM tidak cukup dengan progress penyaluran dan penyerapan dana. Lebih dari itu, kualitas program ditentukan oleh upaya nyata dan terukur dalam mewujudkan kemandirian masyarakat, (Pos kupang, 3/10/2011).
Kedua,   untuk menjamin efektivitas penggunaan dana dilapangan, kualitas para Pendamping Kelompok Masyarakat turut memainkan peran penting. Oleh karena itu, rasanya relevan jika salah satu item evaluasi  implementasi tahap I adalah mengganti para PKM yang dinilai tidak produktif. Sebagai staf lini depan, PKM adalah ujung tombak keberhasilan program.  Orang-orang ini memiliki kompetensi, terutama paham peran, fungsi dan tugas pendampingan masyarakat. Para staf PKM minimal orang yang mampu (a) mendelegasikan peran-peran setiap anggota kelompok masyarakat dalam rangka membangun dan menyiapkan kapasitas diri, (b) membangkitkan inisiatif dan partisipasi kolektif anggota kelompok, (c) memotivasi dan menumbuhkan etos kerja dan usaha para anggota (d) menjadi figur yang menginspirasikan, diantaranya dengan kemampuan menciptakan peluang-peluang pembelajaran kepada anggota. Semua upaya ini bermuara pada pembentukan karakter dan budaya wirausaha masyarakat. Karakter itu dibutuhkan untuk mewujudkan goal dari program DeMAM   yakni memacu peningkatan kemampuan ekonomi  dan daya saing masyarakat desa, sesuai basis keunggulan local untuk mencapai kesejahtreaan dan kemandirian.
Ketiga, karena DeMAM mengambil jalur pemberdayaan maka kemandirian menjadi destinasi terakhir semua aktivitasnya. Pada saatnya nanti program ini akan menghentikan aktivitas pendampingan dan kucuran dana. Sehingga, periode implementasi diharapkan memberikan pembelajaran, pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan wawasan sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Semuanya itu mesti terinternalisasi dalam jiwa dan kepribadian para beneficiaries. Ketika kapasitas mereka sudah memadai, maka tak ada keraguan untuk (a) menghentikan aliran dana untuk menjalankan usaha ekonomi yang sudah dirintis. Hitungannya adalah kelompok masyarakat sudah memiliki kekuatan financial sendiri dari hasil usaha. (b) Membebaskan masyarakat dari peran para pendamping untuk mengawal keberlangsungan usaha. Asumsinya bahwa mereka sudah cukup unggul kapasitas individu dan kuat secara kelembagaan.
Jika hitungan sederhana ini sudah link dengan kondisi masyarakat setelah setahun menjalankan program, maka sebetulnya rencana kucuran dana tahap kedua tidak mesti sampai jumlah besar. Kecuali sejumlah dana awal untuk sebelas desa katagori scaling up program.  Bukankah sedari awal budget DeMAM lebih bersifat stimulus untuk merangsang naluri bisnis masyarakat desa?  
 Akhirnya, budget, resource staf (PKM)  dan kemandirian sebagai fokus  tulisan ini, hanyalah beberapa dari sekian banyak factor penentu, untuk menjawab pertanyaan  apakah DeMAM sungguh merupakan program pemberdayaan yang sederhana (simple), terukur (measurable), dapat dicapai (achievable), terpercaya (reliable) dan tepat waktu (timeline)? Jika prinsip-prinsip ini terpenuhi, maka DeMAM memang memiliki keunggulan yang membuatnya berbeda dengan program serupa lain seperti IDT. Semoga.











My Opinion


Mandiri Dengan Anggur Merah?
Oleh; Mohamad Nasrul AN

                        Senin 20 Desember 2010, Desa Mandiri Anggur Merah (DeMAM), sebuah program pemberdayaan ekonomi masyarakat desa diluncurkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur bertepatan dengan acara peringatan HUT Provinsi NTT ke 52 di Kupang. Gubernur Frans Lebu Raya menguraikan beberapa detil program. Budget untuk DeMAM pada tahun pertama 2011 dialokasikan Rp. 81.2 Milyar untuk 287 desa penerima manfaat (beneficiaries) dari total jumlah 2.837 desa di NTT. Setiap desa mendapat jatah Rp. 250 juta. Peruntukan budget DeMAM tidak untuk peningkatan infrastruktur desa semisal pembangunan jembatan, posyandu, gedung sekolah, pengerasan jalan, dan lain-lain. Dana DeMAM semata-mata didesign untuk memacu peningkatan kemampuan ekonomi  dan daya saing desa sesuai basis keunggulan dan pemerataan keadilan.   Masing-masing desa beneficiaries didampingi seorang fasilitator yang tinggal dan bekerja mendampingi masyarakat di desa. 
            Tipikal program DeMAM seperti ini mengingatkan kita pada program Inpres Desa Tertinggal (IDT), atau semacam program Dana Bergulir dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Mekanisme pemberian dana menggunakan pendekatan kelompok masyarakat (community base group). Masyarakat menghimpun diri dalam kelompok-kelompok usaha, yang memiliki struktur organisasi sederhana.. Dalam kelompok ada pertemuan-pertemuan rutin yang prosesnya dinotulenkan. Pertemuan bisa membahas rencana-rencana, apa dan bagaimana sebuah program dilaksanakan, system monitoring dan evaluasi terhadap   usaha (program) yang akan dikembangkan kelompok. Lewat pertemuan kelompok, peran pendampingan seorang fasilitator dimulai dari sini. Hasil kesepakatan kelompok pada akhirnya nanti menjadi program kelompok yang siap menerima intervensi (budget, pendampingan) dari pihak eksternal (donor) entah pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM.
            Meski uraian Gubernur diatas tidak termasuk mekanisme penyaluran budget yang menjadi satu kesatuan dalam semacam Detail Implementasi Program DeMAM, hampir bisa dipastikan bahwa dana Rp. 250 juta tidak mungkin   menggunakan Rumah Tangga (house hold) atau bahkan individu sebagai entry point penyaluran dana selain kelompok masyarakat.  Jika benar DeMAM juga memakai pendekatan kelompok untuk mendistribusikan budget program, maka sejumlah besar tantangan sedang menanti di 287 desa beneficaries. Ada beberapa persoalan klasik yang juga dihadapi banyak lembaga pemberdayaan misalnya (1) kesiapan masyarakat baik secara kelembagaan maupun resources. Rata-rata masyarakat desa belum terbiasa mengorganisir diri dalam suatu kolompok usaha kolektif karena keterbatasan sumber daya manusia. Maka yang terjadi adalah masyarakat hanya melaksanakan rencana-rencana para desainer program tanpa inisiatif dan kreatifitas mereka sendiri.  Kondisi ini menjadikan aspek community capacity building bagian tak teripisahkan dari program.     (2) Pola pikir masyarakat. Ini berkaitan dengan cara pandang terhadap kehadiran program dimana umumnya masyarakat cenderung mengasosiasikan program dengan bantuan cash fund. Boleh jadi hal ini tak lepas dari program-program emergency pemerintah seperti Program Keluarga Haraparn (PKH) dan Raskin.  Konsekwensinya adalah timbul mentalitas ketergantungan yang mematikan etos kerja dan usaha  masyarakat. (3) Pola kehidupan  social budaya. Umumnya masyarakat NTT memegang kuat adat istiadat dan tradisi. Sebuah ritual adat bisa mengabiskan puluhan hewan ternak. Secara bisnis, ini sungguh merugikan jika nilai puluhan ternak itu dihitung sebagai potensi, yang menghasilkan uang.     
            Upaya pemerintah melalui program DeMAM tampaknya dijadikan semacam stimulus bagi pertumbuhan ekonomi desa dengan pengembangan usaha-usaha ekonomi produktif, boleh dikatakan sebuah terobosan manis bagi perkembangan micro entrepreneurship di NTT. Program ini juga menjadi mulia, karena sasarannya adalah masyarakat miskin  pedesaan. Pada tataran yang lebih luas, program DeMAM  mengingatkan kita pada strategi pemerintah China menghadapi krisis keuangan global beberapa tahun terakhir.  China melegalkan keberadaan para rentenir untuk memudahkan akses masyarakat mendapat dana segar. Tujuannya cuma satu, untuk memacu pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) sekaligus menggerakan sector riil yang mati suri dihantam badai krisis moneter. Hasilnya, nilai ekspor China tetap tinggi dan barang-barang  made in China membanjiri banyak negara termasuk Indonesia. Di Indonesia, keseriusan pemerintah mengembangkan UKM tampak pada kenaikan nilai Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang penyalurannya pada tahun 2011 ini mencapai Rp 18 Triliun ketimbang tahun 2010 sebesar Rp. 16.4 Triliun.  Dalam lingkup pemberdayaan, beberapa lembaga pemberdayaan masyarakat non pemerintah juga mulai memasukan  micro entrepreneurship sebagai salah satu domain kerja mereka. Tujuannya pun tak lain untuk membudayakan jiwa wirausaha dan mengangkat derajat kehidupan masyarakat secara ekonomi.  
            Karena sebagai stimulus, budget program DeMAM Rp.250 juta sesungguhnya bukan jaminan kemandirian  masyarakat desa. Asumsi yang dibangun adalah bagaimana mengefisienkan budget itu agar mampu; pertama, menggerakan inisiatif dan budaya  kewirausahan masyarakat desa untuk secara kolektif mengembangkan perekonomian mereka sebagai satu solusi mengatasi isu kemiskinan yang dihadapi. Kedua, impact DeMAM diharapkan bisa membawa  perubahan pola pikir dan perilaku  masyarakat, untuk menjadikan sumber-sumber potensi (pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan,kerajinan rumah tangga dll) bernilai produktif ekonomis bagi kesejahtraan hidup. Impian ini cukup nyambung dengan hakekat fungsi budget DeMAM yakni menjadi dana abadi yang bergulir di desa dan menjadi daya dorong petumbuhan ekonomi desa.    
            Hal selanjutnya adalah soal resources. Para fasilitator DeMAM memainkan peran yang signifikan dalam menentukan keberhasilan program. Mereka adalah staf dilini depan yang bekerja langsung dengan masyarakat sebagai penerima manfaat program. Karena sebagai staf terdepan, mereka haruslah kumpulan orang-orang terpilih. Mereka tidak asing dengan aktivitas pemberdayaan masyarakat, artinya mereka bukan orang-orang yang baru bergelut dengan dunia pemberdayaan.  Mereka juga kapabel menterjemahkan arah, sasaran, target dan outcome program, termasuk kemampuan negosiasi dan adaptasi yang baik dengan masyarakat dan lingkungan.  Dan yang terpenting, para fasilitator DeMAM adalah individu yang memiliki jiwa usaha dan wawasan yang cukup tentang pengembangan micro entrepreneurship. Ini penting untuk memudahkan mereka menjalankan tugas pendampingan agar program DeMAM benar-benar tepat sasaran. Konkritnya, kompetensi fasilitator penting, karena berkaitan dengan bagaimana mereka mengkonversikan Rp. 250 juta plus guideline program DeMAM kedalam bahasa dan aktivitas program yang sederhana, terukur, bisa dicapai, tepat waktu dan sinkron dengan kondisi masyarakat dan basis potensi desa. Fasilitator harus mampu mendorong partisipasi dan kooperasi masyarakat, salah satunya dalam bentuk inisiatif-inisiatif masyarakat untuk merencanakan, melaksanakan, mengontrol dan mengevaluasi program. Ini  tantangan bagi para fasilitator, mengingat 287 desa beneficiaries termasuk kelompok desa “berat” di NTT. Acuannya adalah criteria calon DeMAM yakni, jumlah Kepala Keluarga miskin terbanyak, jauh dari akses transportasi dan informasi, pendapatan desa rendah dan banyak lahan kritis.
             Ada kekwatiran yang mendasari mengapa aspek kompetensi fasilitator penting untuk didiskusikan. Diskusi tidak dalam posisi meragukan kemampuan para fasilitator, tetapi semata-mata menempatkan mereka sebagai ujung tombak yang menentukan keberhasilan program DeMAM dilapangan. DeMAM adalah program    pemerintah, dan karenanya ada asumsi bahwa kepentingan pejabat dan birokrat banyak bermain didalamnya. Banyak pengambilan keputusan dilakukan oleh para pejabat, satu diantaranya adalah soal pola perekrutan tenaga fasilitator. Publik mencemaskan kemurnian hasil perekrutan yang bersih dari kolusi dan nepotisme. Jika prakteknya demikian, maka akan berdampak pada pengabaian kompetensi fasilitator.
              Lebih jauh, mengabaikan aspek kompetensi adalah sebetulnya sebuah pertaruhan. Dasarnya adalah bahwa kompetensi fasilitator akan berdampak langsung pada kualitas pendampingan, dan kualitas pendampingan akan berpengaruh langsung pada keberhasilan implementasi program DeMAM.  Singkatnya, fasilitator yang tidak kompeten berpotensi pada kegagalan pendampingan dan  realisasi program. Kegagalan program tentu saja meruntuhkan reputasi pemerintah sebagai pemangku kewajiban pembangunan, maupun selaku desainer dan donatur program.   Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, dalam Dialog Tokoh Agama tentang program DeMAM di Kupang secara khusus menggugat kesiapan para pendamping. Uskup Larantuka ini mengatakan para pendamping DeMAM harus punya komitmen yang sungguh dan bekerja ekstra, sehingga aspek iman perlu dimasukan. Untuk itu, evaluasi kinerja fasilitator secara reguler mutlak perlu dilakukan selain tentu saja monitoring langsung ke lapangan oleh pemprov NTT.
            Harus pula diingat, goal program DeMAM adalah menciptakan kemandirian masyarakat desa. Sejatinya, sebuah kemandirian atau keberdayaan tidak serta merta bisa diwujudkan dalam rentang waktu tertentu, satu, dua, tiga atau lima tahun. Tetapi bahwa kemandirian itu butuh waktu dan proses. Program DeMAM sifatnya kondisional. Keberlanjutan program ini dalam jangka  panjang selepas kepemimpinan Frans Lebu Raya-Eston Foenay masih kabur. Padahal nadi sebuah aktivitas pemberdayaan didalamnya  termasuk aspek  keberlanjutan.  Karena sifatnya kondisional,  serta didesign sebagai sebuah produk kebijakan kepemimpinan politis (Gubernur-Wagub), maka para fasilitator DeMAM dituntut untuk tidak boleh berafiliasi dengan kepentingan apapun (politik) selama proses pendampingan implementasi program dimasyarakat. Satu-satu keberpihakan mereka harus dipersembahkan untuk kepentingan terbaik bagi masyarakat.
            Dengan demikian,  fasilitator DeMAM mestinya mereka yang kompeten, punya visi dan komitmen memberdayakan rakyat kecil. Kemampuan itu diperlukan untuk memanfaatkan budget dan waktu yang tersedia secara optimal. Uang Rp 250 juta tahun ini harus mampu dilipatgandakan masyarakat dengan berbagai usaha produktif, tanpa harus menunggu suntikan budget pada tahun kedua, ketiga dan seterusnya.  Buatlah masyarakat DeMAM punya karakter wirausaha, jadikan desa mereka sentra-sentra ekonomi baru di NTT. Masih ada 2.550 desa lain di bumi Flobamora yang menanti sentuhan program DeMAM. Selamat bekerja!