Senin, 14 November 2011

My Opinion


Sebelum Menatap DeMAM Jilid Dua
Oleh: Mohamad Nasrul Aba Nuen

Duet kepemimpinan Frans Lebu Raya – Esthon Foenay   membangun sector usaha kecil menengah,  melalui  program pemberdayaan ekonomi masyarakat berlabel Desa Mandiri Angggur Merah (DeMAM), akan selesai tahap pertama implementasi.
Sejak dimplementasi mulai awal 2011, program ini menarik perhatian yang luas public NTT. DeMAM menarik atensi public diantaranya disebabkan oleh pertama, ia  merupakan tipikal program pemberdayaan pertama di NTT yang digagas oleh pemerintah Provinsi dengan jumlah dana yang besar dari APBD I. Kedua DeMAM oleh banyak pihak dianggap meng copy paste program serupa dimasa lalu seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT).  Ketiga, DeMAM mengambil desa-desa miskin sebagai sasaran program tetapi kapasitas masyarakat belum disiapkan secara baik untuk mengelola dana ratusan juta. Keempat, proses perekrutan staf Pendamping Kelompok Masyarakat (PKM) yang dinilai kurang  akuntabel  dan transparan.      
Setelah setahun berjalan, beberapa sorotan di atas mesti menjadi point of considerations pemerintah mengevaluasi implementasi program.   Hemat penulis, ada beberapa hal krusial  yang patut dimasukan dalam suatu evaluasi komprehensif.
 Pertama, program DeMAM menghabiskan anggaran yang besar. Selain mempertegas keberpihakan pada rakyat, dana sejumlah Rp. 81.2 Milyar pada tahun  pertama juga sekaligus merupakan ’investasi’ pemerintah dalam wujud yang paling nyata. Oleh karena pemerintah tidak duduk mengitung laba disetiap akhir tahun program dari investasi itu, maka perlu dipastikan, efektivitas pemanfaatan dana itu dapat menghasilkan apa yang dalam benak para desainer program disebut dengan kesejahteraan dan kemandirian bagi masyarakat penerima manfaat (beneficaries).
Salah satu tolak ukur sederhana untuk mengukur kemandirian nampak dari dampak program terhadap kehidupan para beneficaries . Ada perubahan-perubahan positif semisal pola pikir (mind set), perilaku (behaviour) dan kesadaran (awareness) masyarakat. Dalam  konteks DeMAM, perubahan itu  bisa dibahasakan dengan (a) inisiatif  dan cara pandang masyarakat  terhadap berbagai potensi ekonomi yang ada di desa sebagai sumber penghasilan, (b) meningkatnya etos kerja masyarakat untuk mengembangkan dan mengkonversikan sumber-sumber potensi lokal menjadi uang dan (c) tumbuhnya semangat dan budaya wirausaha dengan memanfaatkan keunggulan dan potensi lokal sebagai basis.   
Dengan demikian, efektivitas penggunaan budget program menjadi penting untuk dievaluasi. Apalagi, Pemprov bahkan sudah menganggarkan dana sejumlah Rp. 74,5 Miliar untuk program tahun kedua 2012 sebagaimana disampaikan  Kepala Badan Perencanaan  Pembangunan Daerah (Bappeda) NTT, Ir. Wayan Darmawa, (Pos Kupang, 1/11/2011). Kajian terhadap efektivitas penggunaan dana perlu dilakukan, untuk menepis kesan DeMAM sebagai spending oriented program. Pemerintah yakin dan percaya bahwa DeMAM tidak hanya sekedar dibuat untuk menghabiskan anggaran. Oleh karena itu, keterserapan dana tahun pertama hingga akhir Oktober 2011 sejumlah Rp. 71,68 Miliar atau 99,05 % sama sekali bukan jaminan keberhasilan DeMAM. Sejalan dengan Wakil Ketua DPRD NTT, Nelson Matara, yang mengatakan ukuran kualitas DeMAM tidak cukup dengan progress penyaluran dan penyerapan dana. Lebih dari itu, kualitas program ditentukan oleh upaya nyata dan terukur dalam mewujudkan kemandirian masyarakat, (Pos kupang, 3/10/2011).
Kedua,   untuk menjamin efektivitas penggunaan dana dilapangan, kualitas para Pendamping Kelompok Masyarakat turut memainkan peran penting. Oleh karena itu, rasanya relevan jika salah satu item evaluasi  implementasi tahap I adalah mengganti para PKM yang dinilai tidak produktif. Sebagai staf lini depan, PKM adalah ujung tombak keberhasilan program.  Orang-orang ini memiliki kompetensi, terutama paham peran, fungsi dan tugas pendampingan masyarakat. Para staf PKM minimal orang yang mampu (a) mendelegasikan peran-peran setiap anggota kelompok masyarakat dalam rangka membangun dan menyiapkan kapasitas diri, (b) membangkitkan inisiatif dan partisipasi kolektif anggota kelompok, (c) memotivasi dan menumbuhkan etos kerja dan usaha para anggota (d) menjadi figur yang menginspirasikan, diantaranya dengan kemampuan menciptakan peluang-peluang pembelajaran kepada anggota. Semua upaya ini bermuara pada pembentukan karakter dan budaya wirausaha masyarakat. Karakter itu dibutuhkan untuk mewujudkan goal dari program DeMAM   yakni memacu peningkatan kemampuan ekonomi  dan daya saing masyarakat desa, sesuai basis keunggulan local untuk mencapai kesejahtreaan dan kemandirian.
Ketiga, karena DeMAM mengambil jalur pemberdayaan maka kemandirian menjadi destinasi terakhir semua aktivitasnya. Pada saatnya nanti program ini akan menghentikan aktivitas pendampingan dan kucuran dana. Sehingga, periode implementasi diharapkan memberikan pembelajaran, pengalaman, pengetahuan, keterampilan dan wawasan sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Semuanya itu mesti terinternalisasi dalam jiwa dan kepribadian para beneficiaries. Ketika kapasitas mereka sudah memadai, maka tak ada keraguan untuk (a) menghentikan aliran dana untuk menjalankan usaha ekonomi yang sudah dirintis. Hitungannya adalah kelompok masyarakat sudah memiliki kekuatan financial sendiri dari hasil usaha. (b) Membebaskan masyarakat dari peran para pendamping untuk mengawal keberlangsungan usaha. Asumsinya bahwa mereka sudah cukup unggul kapasitas individu dan kuat secara kelembagaan.
Jika hitungan sederhana ini sudah link dengan kondisi masyarakat setelah setahun menjalankan program, maka sebetulnya rencana kucuran dana tahap kedua tidak mesti sampai jumlah besar. Kecuali sejumlah dana awal untuk sebelas desa katagori scaling up program.  Bukankah sedari awal budget DeMAM lebih bersifat stimulus untuk merangsang naluri bisnis masyarakat desa?  
 Akhirnya, budget, resource staf (PKM)  dan kemandirian sebagai fokus  tulisan ini, hanyalah beberapa dari sekian banyak factor penentu, untuk menjawab pertanyaan  apakah DeMAM sungguh merupakan program pemberdayaan yang sederhana (simple), terukur (measurable), dapat dicapai (achievable), terpercaya (reliable) dan tepat waktu (timeline)? Jika prinsip-prinsip ini terpenuhi, maka DeMAM memang memiliki keunggulan yang membuatnya berbeda dengan program serupa lain seperti IDT. Semoga.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar